Ada berbagai macam jenis pungli yang ditengarai terjadi. Mulai dari pemungutan untuk baju sekolah yang mencapai ratusan ribu rupiah, LKS, perbaikan infrastruktur, infaq bahkan asuransi MOS. Jangan tanya kenapa MOS bisa menarik asuransi dan bentuk asuransi apa yang disebutkan? Bisa geleng kepala membaca artikel yang tersebar di berbagai media dan betapa banyaknya modus yang dibuat.
Ada beberapa poin penting yang harus dilakukan oleh pihak sekolah seperti:
1. Sekolah seharusnya menerapkan transparansi dan akuntabilitas baik dari dana BOS ataupun dana sumber orangtua terkait penarikan PPDB.
2. Perlunya sosialisasi tentang dana BOS, tidak hanya kepada sekolah namun juga kepada masyakarat sehingga semua pihak dapat mengetahui.
3. Adanya kontrol dari dinas pendidikan terhadap sekolah negeri dan political will dari kepada daerah untuk mencari solusi konkret dari masalah ini.
Cukup sulit memang menyalahkan pihak sekolah dalam hal ini. Tentu ada berbagai alasan yang dinyatakan penting demi munculnya pungutan liar tersebut. Kita bisa percaya atau tidak, tapi praktik pungli ini masih terus berjalan sampai sekarang. Bahkan setelah munculnya berbagai bantuan yang digulirkan pemerintah kepada sekolah-sekolah, tidak langsung berarti berhentinya modus pungli yang ditengarai sudah lama berlangsung.
Tidak menjadi kapasitas saya untuk menilai karakter dan integritas pimpinan dari sekolah yang melakukan pungli. Selain masih harus dicek dengan lebih mendalam oleh departemen terkait untuk mengetahui seluas mana masalah ini dan dampaknya. Hanya saja, beberapa liputan media sudah menjadi warning awal dari luasnya budaya buruk itu.
Ketika praktik pungli muncul diberbagai bidang kehidupan kita, masih terbersit harapan kalau saja dunia sekolah tidak dikotori praktik seperti ini. Selain beban ekonomi yang masih berat bagi sebagian orang tua murid, berbagai bantuan yang sudah digulirkan seharusnya sudah bisa meminimalkan munculnya praktik sejenis. Tapi melihat kenyataannya, cukup membuat hati menjadi miris dan bertanya: bagaimana sebenarnya wajah dan perilaku dunia pendidikan kita? Apakah pungutan liar adalah bentuk pragmatisme para pengelola sekolah? Atau hanya bentuk "copy paste" dari budaya sejenis dari bidang lain di negeri ini?
Kita mengetahui betapa biaya ekonomi tinggi menjadi satu masalah pelik di negeri ini. Budaya pungli masih banyak berjalan dan sulit untuk ditumpas. Sebagian masyarakat menerimanya sebagai bagian dari kegiatan biasa. Walau begitu, para korban pungli tetap tidak menyukai kondisi yang "sudah biasa itu" kok. Sebagian lagi menolak dan berupaya menghentikan kebiasaan buruk ini.
Tidak mungkin pihak guru tidak terlibat. Bagaimanapun mereka ikut dalam rapat penentuan. Apakah mayoritas guru memilih diam dengan alasan tidak berani melawan pimpinan? Atau sebenarnya mereka diam karena setuju dengan alasan pasti kebagian? Seberapa besar dana yang terkumpul? Kemana semuanya dibuat? Siapa yang bisa memastikan dan melakukan audit? Sulit untuk menjelaskan semua ini bukan? Tapi satu hal yang pasti, bentuk pungutan liar yang biasa sampai yang aneh ini adalah bentuk solusi yang keliru.
Apa yang ditunjukkan oleh mereka? Kreatifitas dalam menyikapi aturan dan sistem? Serta berharap tidak akan ada yang menggubris? Atau mereka menganggap bahwa pungli adalah hal biasa? Bisakah kita anggap bahwa ini adalah budaya yang sulit ditumpas karena pembiaran yang cukup lama diwaktu dulu?
Atau yang lebih parah yang terbersit di pikiran saya: Apakah perilaku ini menular ke sekolah lain seperti penyakit?
Sungguh sering kita mendengar berbagai jeritan sekolah untuk bisa menjalankan roda kegiatan dengan baik. Hal ini tentu menyakitkan kepada kita sebagai orang tua yang berharap agar anak-anak kita mendapatkan yang terbaik dalam hal pendidikan. Tapi bukankah pemerintah sudah menggulirkan bantuan dan berbagai program pendukung? Tiap sekolah sebenarnya sudah memiliki tiga sumber dana pokok. Yakni Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari APBN, BOS dari Pemprov dan BOS dari Kabupaten/Kota.
Apakah belum cukup? Harus seberapa banyak dana yang dibutuhkan yang dianggap cukup? Siapa yang paling berkompeten dalam penentuan hal itu? Dan jika tidak bisa dicapai, lalu pungli adalah jawaban praktis untuk masalah itu?
Pemerintah saat ini sudah melarang adanya pungutan liar di sekolah. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan dan Satuan Pendidikan Dasar.
Guna mengangani kasus pungutan liar tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) merilis laman laporpungli.kemdikbud.go.id. Laman ini menjadi wadah bagi para pelaku pendidikan, seperti orangtua, pemerintah daerah, maupun siswa melaporkan kerugian akibat pengenaan pungutan, terutama saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012, terdapat tiga praktik pungutan liar di sekolah yang dilarang. Pertama tidak boleh dilakukan kepada peserta didik atau orangtua atau walinya yang tidak mampu secara ekonomi. Kedua, tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Ketiga, tidak boleh digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.
Laporkan Pungutan Liar di Sekolah
Larangan melakukan pungutan sesuai dengan PERMENDIKBUD RI NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG PUNGUTAN DAN SUMBANGAN BIAYA PENDIDIKAN PADA SATUAN PENDIDIKAN DASAR.
Baca juga: Layanan Pengaduan Masyarakat
Ada beberapa poin penting yang harus dilakukan oleh pihak sekolah seperti:
1. Sekolah seharusnya menerapkan transparansi dan akuntabilitas baik dari dana BOS ataupun dana sumber orangtua terkait penarikan PPDB.
2. Perlunya sosialisasi tentang dana BOS, tidak hanya kepada sekolah namun juga kepada masyakarat sehingga semua pihak dapat mengetahui.
3. Adanya kontrol dari dinas pendidikan terhadap sekolah negeri dan political will dari kepada daerah untuk mencari solusi konkret dari masalah ini.
Cukup sulit memang menyalahkan pihak sekolah dalam hal ini. Tentu ada berbagai alasan yang dinyatakan penting demi munculnya pungutan liar tersebut. Kita bisa percaya atau tidak, tapi praktik pungli ini masih terus berjalan sampai sekarang. Bahkan setelah munculnya berbagai bantuan yang digulirkan pemerintah kepada sekolah-sekolah, tidak langsung berarti berhentinya modus pungli yang ditengarai sudah lama berlangsung.
Tidak menjadi kapasitas saya untuk menilai karakter dan integritas pimpinan dari sekolah yang melakukan pungli. Selain masih harus dicek dengan lebih mendalam oleh departemen terkait untuk mengetahui seluas mana masalah ini dan dampaknya. Hanya saja, beberapa liputan media sudah menjadi warning awal dari luasnya budaya buruk itu.
Ketika praktik pungli muncul diberbagai bidang kehidupan kita, masih terbersit harapan kalau saja dunia sekolah tidak dikotori praktik seperti ini. Selain beban ekonomi yang masih berat bagi sebagian orang tua murid, berbagai bantuan yang sudah digulirkan seharusnya sudah bisa meminimalkan munculnya praktik sejenis. Tapi melihat kenyataannya, cukup membuat hati menjadi miris dan bertanya: bagaimana sebenarnya wajah dan perilaku dunia pendidikan kita? Apakah pungutan liar adalah bentuk pragmatisme para pengelola sekolah? Atau hanya bentuk "copy paste" dari budaya sejenis dari bidang lain di negeri ini?
Kita mengetahui betapa biaya ekonomi tinggi menjadi satu masalah pelik di negeri ini. Budaya pungli masih banyak berjalan dan sulit untuk ditumpas. Sebagian masyarakat menerimanya sebagai bagian dari kegiatan biasa. Walau begitu, para korban pungli tetap tidak menyukai kondisi yang "sudah biasa itu" kok. Sebagian lagi menolak dan berupaya menghentikan kebiasaan buruk ini.
Tidak mungkin pihak guru tidak terlibat. Bagaimanapun mereka ikut dalam rapat penentuan. Apakah mayoritas guru memilih diam dengan alasan tidak berani melawan pimpinan? Atau sebenarnya mereka diam karena setuju dengan alasan pasti kebagian? Seberapa besar dana yang terkumpul? Kemana semuanya dibuat? Siapa yang bisa memastikan dan melakukan audit? Sulit untuk menjelaskan semua ini bukan? Tapi satu hal yang pasti, bentuk pungutan liar yang biasa sampai yang aneh ini adalah bentuk solusi yang keliru.
Apa yang ditunjukkan oleh mereka? Kreatifitas dalam menyikapi aturan dan sistem? Serta berharap tidak akan ada yang menggubris? Atau mereka menganggap bahwa pungli adalah hal biasa? Bisakah kita anggap bahwa ini adalah budaya yang sulit ditumpas karena pembiaran yang cukup lama diwaktu dulu?
Atau yang lebih parah yang terbersit di pikiran saya: Apakah perilaku ini menular ke sekolah lain seperti penyakit?
Sungguh sering kita mendengar berbagai jeritan sekolah untuk bisa menjalankan roda kegiatan dengan baik. Hal ini tentu menyakitkan kepada kita sebagai orang tua yang berharap agar anak-anak kita mendapatkan yang terbaik dalam hal pendidikan. Tapi bukankah pemerintah sudah menggulirkan bantuan dan berbagai program pendukung? Tiap sekolah sebenarnya sudah memiliki tiga sumber dana pokok. Yakni Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari APBN, BOS dari Pemprov dan BOS dari Kabupaten/Kota.
Apakah belum cukup? Harus seberapa banyak dana yang dibutuhkan yang dianggap cukup? Siapa yang paling berkompeten dalam penentuan hal itu? Dan jika tidak bisa dicapai, lalu pungli adalah jawaban praktis untuk masalah itu?
Pemerintah saat ini sudah melarang adanya pungutan liar di sekolah. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan dan Satuan Pendidikan Dasar.
Guna mengangani kasus pungutan liar tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) merilis laman laporpungli.kemdikbud.go.id. Laman ini menjadi wadah bagi para pelaku pendidikan, seperti orangtua, pemerintah daerah, maupun siswa melaporkan kerugian akibat pengenaan pungutan, terutama saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012, terdapat tiga praktik pungutan liar di sekolah yang dilarang. Pertama tidak boleh dilakukan kepada peserta didik atau orangtua atau walinya yang tidak mampu secara ekonomi. Kedua, tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Ketiga, tidak boleh digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.
Laporkan Pungutan Liar di Sekolah
Larangan melakukan pungutan sesuai dengan PERMENDIKBUD RI NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG PUNGUTAN DAN SUMBANGAN BIAYA PENDIDIKAN PADA SATUAN PENDIDIKAN DASAR.
Baca juga: Layanan Pengaduan Masyarakat