Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari sudut pandang syar'i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu "hubungan" yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.
Apa yang terjadi dari sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima : perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim, dan hubungan suami istri.
Perkenalan
Islam tidak melarang seseorang untuk menganal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena, kekuatan Islam itu adalah di antaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling mengenal.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal." (QS. Al-Hujuraat : 13).
Hubungan Sahabat
Jatuh Cinta
Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, "Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela”.
Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab ra, "Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya." Umar berkata, "Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan." (HR. Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, "Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang’’.
Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Saya bertanya kepada Rasulullah SAW tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, 'Palingkanlah pandanganmu itu'!
Rasulullah SAW berpesan kepada Ali ra yang artinya, "Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Wa'ifdz, dia berkata, "Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa'idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, 'Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?' Dia menjawab, 'Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, 'Wahai Habib?' Aku menjawab, 'Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.' Allah berfirman, 'Lewatlah Kamu di atas neraka'. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, 'Aduh (karena sakitnya)'. Maka Dia memanggilku, 'Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka)." Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.
Hubungan Intim
Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi rambu-rambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali. Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah "pacaran".
Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah terkenal: "apel". Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.
Al-Hakim meriwayatkan, "Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya”.
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga (mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan." (HR.Ahmad).
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi SAW bersabda yang artinya, "Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita melainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya."
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah ra dan Ibn Abbas ra keduanya berkata, Rasulullah SAW berkhotbah, "Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanita itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut”.
Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri.
Hubungan Suami-Istri
Agama Islam itu adalah agama yang tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di dalam memandang hal semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan seks. Oleh karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah nabi-Nya.
Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah menjalin hubungan suami-istri. Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah dihalalkan untuk berbuat sesukanya terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari kepuasan libido seksualnya : hubungan badan), asalkan saja tidak melanggar larangan yang telah diundangkan oleh syariat.
Kita tidak menyangkal bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih belum melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering mendengar seorang pemudi hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa yang menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan aborsi (pengguguran kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari hasil perbuatan zina.
Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah) sudah seperti hubungan suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan ini sudah mencapai puncak kemaksiatan. Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak hal telah hilang, yaitu ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan agama bagi sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai keagamaan di masyarakat juga ikut hancur.
Di dalam kitab Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Ibnu Umar ra bertutur bahwa dirinya termasuk sepuluh orang sahabat Muhajirin yang duduk bersama Rasulullah SAW. Lalu, beliau mengarahkan wajahnya kepada kami dan bersabda, "Wahai segenap Muhajirin, ada lima hal yang membuat aku berlindung kepada Allah dan aku berharap kalian tidak mendapatkannya. Pertama, tidaklah perbuatan zina tampak pada suatu kaum sehingga mereka melakukan terang-terangan, melainkan mereka akan tertimpa bencana wabah dan penyakit yang tidak pernah ditimpakan kepada orang-orang sebelum mereka. Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan tertimpa paceklik, masalah ekonomi, dan kedurjanaan penguasa. Ketiga, tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat, melainkan mereka akan meng alami kemarau panjang. Sekiranya tidak karena binatang, niscaya mereka tidak akan diberi hujan. Keempat, tidaklah suatu kaum melakukan tipuan (ingkar janji), melainkan akan Allah utus kepada mereka musuh yang akan mengambil sebagian yang mereka miliki. Kelima, tidaklah para imam (pemimpin) mereka meninggalkan (tidak mengamalkan Al-Qur'an), melainkan akan Allah jadikan permusuhan antar mereka." (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
"Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, 'Apa ini?' Kedua orang itu berkata, 'Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina'." (Isi hadits tersebut kami ringkas redaksinya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim). .
Atha' al-Khurasaniy berkata, "Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya." (Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi).
Dengan mengetahui dampak negatif yang sangat besar ini, kita akan menyadari dan meyakini bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW itu ternyata memang benar. Apabila seorang pemuda sudah siap untuk menikah, segerakanlah menikah. Hal ini sangat baik untuk menghindari terjadinya perbutan maksiat. Tetapi, jika belum mampu untuk menikah, orang tersebut hendaknya berpuasa. Karena, puasa itu di antaranya dapat menahan hawa nafsu.
"Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia berp uasa, karena puasa itu benteng (penjagaan) baginya." (HR. Bukhari).
Setuju banget deh. Cinta emang butuh proses. Butuh waktu agar bisa tumbuh perasaan satu sama lain. Ini khususnya cinta dengan lawan jenis ya. Eh, kalo pun ada orang yang love at first sight, tentunya bukan cinta namanya, tapi ketertarikan. Karena ketertarikan orang bisa dengan begitu mudah muncul manakala ada obyek yang memang menurutnya menyenangkan. Tapi cinta nggak begitu ternyata. “Cinta itu tumbuh, berkembang dan merupakan emosi yang kompleks,” kata Bowman, salah seorang pakar psikologi.
Well, kita kayaknya kudu setuju nih kalo cinta itu emang konstruktrif. Eh, jangan-jangan ada teman kita (atau kita sendiri?) yang mendadak jadi kreatif, ngedadak jadi suka pake wangi-wangian biar nggak BB, ngedadak juga jadi senang baca novel cinta. Padahal, sebelum tertarik dengan salah seorang dari lawan jenis, mandi sekali sehari aja udah untung banget.
Konon kabarnya, penganut faham romantik percaya banget bahwa cinta bisa mengatasi masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala penyakit. Kemiskinan dan banyak problem lain diyakini bisa diatasi dengan berbekal cinta belaka. Faktanya, cinta nggaklah seajaib itu. Cinta hanya bisa membuat sepasang kekasih (suami-istri) berani menghadapi masalah. Permasalahan seberat apapun mungkin didekati dengan jernih agar bisa dicarikan jalan keluar. Orang yang tengah mabuk kepayang berarti nggak benar-benar mencinta-cenderung membutakan mata saat tercegat masalah. Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia mengenyampingkan problem.
Maka, kalo misalnya kita mo nikah, selain cinta tentu kudu ada persiapan ilmu, mental, dan juga jaminan untuk nafkahnya, lho. Kalo modalnya cinta doang, harus dipertanyakan tuh, sebab menikah bukan cuma modal cinta. Kalo nggak punya beras, apa cukup dengan cinta? Nggak kan? Cinta tuh hanya akan memotivasi kita untuk mencari jalan keluar supaya bisa dapetin beras.
Ya, cinta itu bergerak konstan, sobat. Maka kita patut curiga bila grafik perasaan kita pada sesuatu atau kekasih (suami-istri or calon suami dan calon istri) yang kita cintai tuh turun-naik sangat tajam. Kalau saat jauh kita merasa kekasih lebih hebat dibanding saat bersama, itu pertanda kita mengidealisasikannya, bukan melihatnya secara realistis.
Selain berusaha menyenangkan kekasih (suami-istri atau calon suami dan calon istri), orang yang sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian, keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk melakukan hal yang tidak disukai kekasih demi kebaikan. Seperti seorang ibu yang berkata “tidak” saat anaknya minta es krim, padahal sedang flu.
Semoga pengenalan beberapa hal tentang cinta ini bisa menjadi inspirasi kita untuk lebih bersih dalam mencintai, yakni taat aturan Allah Swt. Berbahagialah karena kita memiliki cinta.